Thursday, February 22, 2018

Anies Vs Joko Widodo 2019, Pertarungan Yang Dinantikan Dunia



Anies Vs Joko Widodo 2019, Pertarungan Yang Dinantikan Dunia
Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Anies Rasyid Baswedan, penantang terkuat Jokowi. Itulah analisis hasil survey CSIS dan LSI. Elektabilitas Jokowi tak aman. Di bawah 50%. Dengan catatan, belum ada lawan. Jika muncul lawan yang kuat, elektabilitas Jokowi bisa ambruk.
Tiga faktor yang menjadi bahaya elektabilitas Jokowi (Survey LSI Denny JA).
Pertama, memburuknya kondisi ekonomi. Harga kebutuhan pokok makin mahal (52,6%).
Lapangan pekerjaan makin sulit (54%). Tingkat pengangguran bertambah (48%). Sepuluh juta tenaga kerja gres yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye 2014 belum juga terbukti.
Kedua, informasi primordial. Rakyat menganggap Jokowi berpihak. Isu kriminalisasi dan pencekalan ulama, dicurigai publik sebagai bab dari perilaku tidak fair kepada mereka yang berbeda politik dengan istana.
Ketiga, banjir pekerja Cina. 58,3% rakyat mempersoalkan banyaknya tenaga absurd (tenaga agresif Cina) yang tiba ke Indonesia. Kelonggaran ini dianggap oleh sejumlah pihak sebagai bahaya terhadap dasar dan prinsip kedaulatan negara. Pilihan kerjasama pembangunan infrastruktur dengan Cina, bukan dengan Jepang atau Korea Selatan misalnya, menyisakan banyak pertanyaan.

Ada apa? Tidakkah Cina dikenal kurang/tidak kredibel soal komitmen kerja dan integritas? Di aspek inilah goresan pena berjudul “Widodo”s smoke and mirrors hide hard truth” oleh wartawan senior Australia John Mcbeth menarik hati dan ramai pembaca di Indonesia. Seolah goresan pena itu telah mengkonfirmasi temuan survei itu.
Menurut LSI, tiga faktor di atas menjadi bahaya serius elektabilitas Jokowi. Jika ini tidak cepat dan cerdas diatasi, Jokowi besar peluangnya untuk dikalahkan. Siapa yang paling potensial mengalahkan Jokowi? Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini diprediksi paling besar dan berpengaruh peluangnya.
Anies yaitu satu-satunya tokoh yang direkomendasikan CSIS untuk bertanding melawan Jokowi di pilpres 2019.
Kenapa bukan Prabowo? Prabowo sudah selesai masanya. Ia yaitu seorang negarawan yang sudah tidak waktunya lagi untuk turun langsung. Lebih pas dan cocok jadi ‘King Maker”. Layaknya dunia sepak bola, Prabowo yaitu Maradona. Dia lebih layak menjadi instruktur di luar lapangan. Dan satu-satunya pemain, masih berdasarkan CSIS, yang layak dipasang Prabowo yaitu Anies Rasyid. Baswedan. Orang doktrin Prabowo.
Sebagai Gubernur DKI, Anies punya panggung. Banyak momentum yang memberi keberuntungan kepada Anies untuk selalu diperhitungkan publik. Berbagai kegiatan DKI yang diljalankan Anies akan terus membayangi -- dan menjadi bahaya terhadap -- elektabilitas Jokowi.
Terlebih jikalau setiap kegiatan dan kebijakan Anies dibully dan dikritik. Ini malah justru mendatangkan berkah bagi Anies. Makin dikritik, nama Anies makin naik (Tempo).
Jokowi vs Anies yaitu pertarungan politik yang sudah ditunggu-tunggu. Tidak saja oleh rakyat Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Ibarat tinju, ini pertarungan satu kelas. Selevel!
Pertama, sama-sama tokoh nasional. Yang satu presiden, satunya lagi mantan menteri.
Kedua, sama-sama pernah menjadi gubernur DKI.
Ketiga, tingkat popularitasnya berimbang. Keempat, Jokowi lebih erat dengan Cina, Anies lulusan Amerika. Sama-sama punya jaringan internasional.
Jika Anies vs Jokowi jadi digelar, keduanya akan menjadi rival yang seimbang. Pertarungannya akan sangat ketat. Lalu, siapa pasangan mereka?
Soal wakil, Jokowi bergerak lebih cepat. Bahkan sangat gesit. Sejumlah tokoh kabarnya sudah mulai dijajagi. Mulai dari Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar hingga Zulkifli Hasan diajak komunikasi.
Ketiganya nampak bersemangat. Ada yang pasang baliho. Ada juga yang coba melaksanakan manuver untuk sanggup simpati Jokowi. Ketiganya bersaing.
Selain ketiga tokoh di atas ada Agus Harimurti Yudhoyono dan Romuharmuzy. Tokoh yang terakhir ini nampak mengikuti jejak Muhaimin. Terlihat sama-sama genit. Ikutan memasang sejumlah baliho “cawapres” di sejumlah sudut jalan.
J. Kristiadi, pentolan CSIS menyarankan Jokowi untuk tetap maju bersama Jusuf Kalla. Seorang negarawan dan dianggap merepresentasikan Islam moderat. Pilihan lain yaitu Said Agil Siraj, Ma’ruf Amin atau Mustofa Bisri. Ketiga ulama ini dianggap merepresentasikan kelompok Islam moderat dan bisa manghadang informasi primordial Jokowi.
Rekomendasi ini seolah menjelaskan. Pertama, faktor primordial dianggap sebagai bahaya serius. Kedua, sejumlah bakal cawapres dari unsur partai koalisi diasumsikan tidak bisa mengurai informasi primordial yang sedang memblokade Jokowi.
Anehnya, J. Kristiadi tidak merekomendasikan Puan Maharani atau Budi Gunawan yang notabene “confirmed” bisa mendapat rekomendasi atau tiket dari PDIP. Partai terbesar ketika ini dan mempunyai mesin politik cukup baik.
Di sini nampak bahwa hasil survey dan ekspektasi partai belum sejalan. Tetapi, peluang tak tertutup sebelum pasangan caores-cawapres itu didaftakan resmi di KPU.
Lalu, siapa yang cocok berpasangan dengan Anies? Ada sejumlah nama yang diperkirakan bisa memperkuat posisi elektabilitas Anies. Ini prediksi yang bisa dijadikan rekomendasi survey.
Pertama, Gatot Nurmantyo. Unsur tentara dan antitesa Jokowi. Hadirnya Gatot bisa mengimbangi efek lima jenderal purnawirawan AD yang mengelilingi istana.
Kedua, Kiyai Ma’ruf Amin. Tokoh NU dan ketua majlis ulama ini bisa diterima banyak pihak. Jika Anies berhasil digandengkan dengan Ma’ruf Amin, pasangan ini diprediksi akan mendapat santunan dari secara umum dikuasai kekuatan Umat Islam. Tidak hanya kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) dan kelompok Islam perkotaan, tapi juga Islam tradisional.
Ketiga, Tuan Guru Bajang (TGB). Luar Jawa dan tokoh Islam moderat (NU). Anies yang nasionalis akan menguat jikalau didampingi TGB dari kelompok islamis.
Keempat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Anak muda yang potensial mengambil bunyi dari kelompok milenial dan “kaum hawa”. Punya partai kelas menengah dan bisa mengambil efek SBY.
Kelima, Ahmad Heryawan. Dua kali jadi gubernur dan mengakar jaringannya di Jawa Barat. Sebuah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
Dengan siapa capres akan berpasangan biasanya diputuskan injury time. Hasil survei dan lobi partai paling besar pengaruhnya dalam menciptakan keputusan. Di titik inilah “branding cawapres” sejumlah tokoh menemukan logikanya.
Langkah ini akan mendorong survei elektabilitas dan bisa membuka peluang yang lebih besar untuk masuk nominasi cawapres. Kenapa tidak branding capres? Jawabnya: “mesti tahu diri”. Kendati sebagian tokoh ada yang melaksanakan branding capres, tapi tujuan bantu-membantu untuk membidik posisi cawapres.
Formasi bakal capres bisa berubah-rubah. Bisa dua, bisa juga tiga. Begitu pula dengan prediksi pasangan. Yang jelas, dengan siapa capres itu berpasangan, akan punya efek bunyi yang signifikan. Inilah faktor yang mendorong “bursa cawapres” menjadi ramai menjelang 2019.
Jakarta, 14/2/2018

No comments: