Anies Vs
Joko Widodo 2019, Pertarungan Yang Dinantikan Dunia
Oleh: Tony
Rosyid
(Pengamat
Politik dan Pemerhati Bangsa)
Anies Rasyid
Baswedan, penantang terkuat Jokowi. Itulah analisis hasil survey CSIS dan LSI.
Elektabilitas Jokowi tak aman. Di bawah 50%. Dengan catatan, belum ada lawan.
Jika muncul lawan yang kuat, elektabilitas Jokowi bisa ambruk.
Tiga faktor
yang menjadi bahaya elektabilitas Jokowi (Survey LSI Denny JA).
Pertama,
memburuknya kondisi ekonomi. Harga kebutuhan pokok makin mahal (52,6%).
Lapangan pekerjaan makin sulit (54%). Tingkat pengangguran bertambah (48%). Sepuluh juta tenaga kerja gres yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye 2014 belum juga terbukti.
Lapangan pekerjaan makin sulit (54%). Tingkat pengangguran bertambah (48%). Sepuluh juta tenaga kerja gres yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye 2014 belum juga terbukti.
Kedua,
informasi primordial. Rakyat menganggap Jokowi berpihak. Isu kriminalisasi dan
pencekalan ulama, dicurigai publik sebagai bab dari perilaku tidak fair kepada
mereka yang berbeda politik dengan istana.
Ketiga,
banjir pekerja Cina. 58,3% rakyat mempersoalkan banyaknya tenaga absurd (tenaga
agresif Cina) yang tiba ke Indonesia. Kelonggaran ini dianggap oleh sejumlah
pihak sebagai bahaya terhadap dasar dan prinsip kedaulatan negara. Pilihan
kerjasama pembangunan infrastruktur dengan Cina, bukan dengan Jepang atau Korea
Selatan misalnya, menyisakan banyak pertanyaan.
Ada apa?
Tidakkah Cina dikenal kurang/tidak kredibel soal komitmen kerja dan integritas?
Di aspek inilah goresan pena berjudul “Widodo”s smoke and mirrors hide hard
truth” oleh wartawan senior Australia John Mcbeth menarik hati dan ramai pembaca
di Indonesia. Seolah goresan pena itu telah mengkonfirmasi temuan survei itu.
Menurut LSI,
tiga faktor di atas menjadi bahaya serius elektabilitas Jokowi. Jika ini tidak
cepat dan cerdas diatasi, Jokowi besar peluangnya untuk dikalahkan. Siapa yang
paling potensial mengalahkan Jokowi? Anies Rasyid Baswedan. Gubernur DKI ini
diprediksi paling besar dan berpengaruh peluangnya.
Anies yaitu
satu-satunya tokoh yang direkomendasikan CSIS untuk bertanding melawan Jokowi
di pilpres 2019.
Kenapa bukan
Prabowo? Prabowo sudah selesai masanya. Ia yaitu seorang negarawan yang sudah
tidak waktunya lagi untuk turun langsung. Lebih pas dan cocok jadi ‘King
Maker”. Layaknya dunia sepak bola, Prabowo yaitu Maradona. Dia lebih layak
menjadi instruktur di luar lapangan. Dan satu-satunya pemain, masih berdasarkan
CSIS, yang layak dipasang Prabowo yaitu Anies Rasyid. Baswedan. Orang doktrin
Prabowo.
Sebagai
Gubernur DKI, Anies punya panggung. Banyak momentum yang memberi keberuntungan
kepada Anies untuk selalu diperhitungkan publik. Berbagai kegiatan DKI yang
diljalankan Anies akan terus membayangi -- dan menjadi bahaya terhadap --
elektabilitas Jokowi.
Terlebih
jikalau setiap kegiatan dan kebijakan Anies dibully dan dikritik. Ini malah
justru mendatangkan berkah bagi Anies. Makin dikritik, nama Anies makin naik
(Tempo).
Jokowi vs
Anies yaitu pertarungan politik yang sudah ditunggu-tunggu. Tidak saja oleh
rakyat Indonesia, tapi juga masyarakat dunia. Ibarat tinju, ini pertarungan
satu kelas. Selevel!
Pertama,
sama-sama tokoh nasional. Yang satu presiden, satunya lagi mantan menteri.
Kedua,
sama-sama pernah menjadi gubernur DKI.
Ketiga,
tingkat popularitasnya berimbang. Keempat, Jokowi lebih erat dengan Cina, Anies
lulusan Amerika. Sama-sama punya jaringan internasional.
Jika Anies
vs Jokowi jadi digelar, keduanya akan menjadi rival yang seimbang.
Pertarungannya akan sangat ketat. Lalu, siapa pasangan mereka?
Soal wakil,
Jokowi bergerak lebih cepat. Bahkan sangat gesit. Sejumlah tokoh kabarnya sudah
mulai dijajagi. Mulai dari Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar hingga Zulkifli
Hasan diajak komunikasi.
Ketiganya
nampak bersemangat. Ada yang pasang baliho. Ada juga yang coba melaksanakan
manuver untuk sanggup simpati Jokowi. Ketiganya bersaing.
Selain
ketiga tokoh di atas ada Agus Harimurti Yudhoyono dan Romuharmuzy. Tokoh yang
terakhir ini nampak mengikuti jejak Muhaimin. Terlihat sama-sama genit. Ikutan
memasang sejumlah baliho “cawapres” di sejumlah sudut jalan.
J.
Kristiadi, pentolan CSIS menyarankan Jokowi untuk tetap maju bersama Jusuf
Kalla. Seorang negarawan dan dianggap merepresentasikan Islam moderat. Pilihan
lain yaitu Said Agil Siraj, Ma’ruf Amin atau Mustofa Bisri. Ketiga ulama ini
dianggap merepresentasikan kelompok Islam moderat dan bisa manghadang informasi
primordial Jokowi.
Rekomendasi
ini seolah menjelaskan. Pertama, faktor primordial dianggap sebagai bahaya
serius. Kedua, sejumlah bakal cawapres dari unsur partai koalisi diasumsikan
tidak bisa mengurai informasi primordial yang sedang memblokade Jokowi.
Anehnya, J.
Kristiadi tidak merekomendasikan Puan Maharani atau Budi Gunawan yang notabene
“confirmed” bisa mendapat rekomendasi atau tiket dari PDIP. Partai terbesar
ketika ini dan mempunyai mesin politik cukup baik.
Di sini
nampak bahwa hasil survey dan ekspektasi partai belum sejalan. Tetapi, peluang
tak tertutup sebelum pasangan caores-cawapres itu didaftakan resmi di KPU.
Lalu, siapa
yang cocok berpasangan dengan Anies? Ada sejumlah nama yang diperkirakan bisa
memperkuat posisi elektabilitas Anies. Ini prediksi yang bisa dijadikan
rekomendasi survey.
Pertama,
Gatot Nurmantyo. Unsur tentara dan antitesa Jokowi. Hadirnya Gatot bisa
mengimbangi efek lima jenderal purnawirawan AD yang mengelilingi istana.
Kedua, Kiyai
Ma’ruf Amin. Tokoh NU dan ketua majlis ulama ini bisa diterima banyak pihak.
Jika Anies berhasil digandengkan dengan Ma’ruf Amin, pasangan ini diprediksi
akan mendapat santunan dari secara umum dikuasai kekuatan Umat Islam. Tidak
hanya kelompok ABJ (Asal Bukan Jokowi) dan kelompok Islam perkotaan, tapi juga
Islam tradisional.
Ketiga, Tuan
Guru Bajang (TGB). Luar Jawa dan tokoh Islam moderat (NU). Anies yang
nasionalis akan menguat jikalau didampingi TGB dari kelompok islamis.
Keempat,
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Anak muda yang potensial mengambil bunyi dari
kelompok milenial dan “kaum hawa”. Punya partai kelas menengah dan bisa
mengambil efek SBY.
Kelima,
Ahmad Heryawan. Dua kali jadi gubernur dan mengakar jaringannya di Jawa Barat.
Sebuah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
Dengan siapa
capres akan berpasangan biasanya diputuskan injury time. Hasil survei dan lobi
partai paling besar pengaruhnya dalam menciptakan keputusan. Di titik inilah
“branding cawapres” sejumlah tokoh menemukan logikanya.
Langkah ini
akan mendorong survei elektabilitas dan bisa membuka peluang yang lebih besar
untuk masuk nominasi cawapres. Kenapa tidak branding capres? Jawabnya: “mesti
tahu diri”. Kendati sebagian tokoh ada yang melaksanakan branding capres, tapi
tujuan bantu-membantu untuk membidik posisi cawapres.
Formasi
bakal capres bisa berubah-rubah. Bisa dua, bisa juga tiga. Begitu pula dengan
prediksi pasangan. Yang jelas, dengan siapa capres itu berpasangan, akan punya
efek bunyi yang signifikan. Inilah faktor yang mendorong “bursa cawapres”
menjadi ramai menjelang 2019.
Jakarta,
14/2/2018
No comments:
Post a Comment