Tuesday, March 20, 2018

Emang Enggak Capek Ngomel Mulu?

Memang anak2 itu harus masih terus diingatkan berulang ulang agar bisa menjadi suatu kebiasaan. Apalagi kebiasaan yang baik. Sejak anak di pondok kangen juga ngomel2 seperti ini..
Pastinya ngomel yang baik dan mengandung doa
Alhamdulillah semoga para asatidz disana diberikan kekuatan dan kesabaran.
Semoga kelelahan mendidik anak bangsa menjadi lelah yang bermanfaat dan menambah amalan kebaikan.
Aamiin...

:: Emang Enggak Capek Ngomel Mulu? ::

"Mas, tolong buangin sampah."
"Mas, ngga berlama-lama di kamar mandi."
"Kakak, ngga teriak-teriak kalo bicara, enggak sopan."
"Ini handuk siapa belum ditaruh?"
"Ini baju kotor siapa yang di depan kamar mandi?"
"Kakak, ngga berantem sama adeknya, harus saling sayang saling jaga."
Mas, kak, ayo buruan beres-beres, bunda mau nyapu."

Sounds familiar..??
Itu kalimat-kalimat yang lumayan sering saya ucapkan.
Dengan nada suara bervariasi, dari rendah sampai ke tinggi. Tergantung kondisi kejiwaan.

,Emang enggak capek ngomel mulu..??,
"Ya capeklah...!"
"Kalo bisa milih, saya lebih milih diem, anak-anak mandiri, enggak perlu diingetin, rumah bersih rapi, rekening penuh terisi...mulai berhalusinasi

"Kenapa sih musti ngomel ke anak-anak?"

Bagi saya itu bagian dari mendidik anak. Mungkin di luar sana banyak ibu peri yang bisa mendidik anak-anaknya dengan muka manis dan kalimat halus, tapi yang jelas saya tidak punya tongkat ajaib itu. Buku-buku parenting itu bilang kalo mengajari anak itu memang harus dengan pengulangan. Tidak bisa dengan sekali ucap kemudian anak paham dan melakukannya secara terus-menerus.

"Tapi tahu ngga sih?"
Mengulang-ulang itu juga butuh energi yang besar. Kalo energi udah nyaris habis untuk urusan domestik, akhirnya yang muncul ya nada-nada tinggi itu. Berapa puluh kali saya harus ngingetin anak-anak untuk hal remeh temeh seperti naruh handuk basah di jemuran atau beresin mainan??
"Ratusaan...!"
Kadang kalo udah capek, saya milih diem.
"Ya udahlah, biarin aja. Nanti aja kalo anak-anak udah tidur saya beresin.."

Mberesin sendiri itu jauh lebih cepat dan menghemat energi daripada harus ngomel-ngomel nyuruh mberesin mainan.
Tapiii, apakah itu hal yang tepat??
Lalu bagaimana dengan soal melatih tanggung jawab??

Anak-anak saya bukan pangeran atau putri yang dikelilingi pelayan setiap hari, mereka juga harus belajar melayani diri sendiri, belajar bertanggung jawab dengan apa yang sudah mereka lakukan..

Soal remeh temeh lainnya yaitu mengambil mainan.
Yang saya ajarkan ke anak-anak, ambil mainan satu per satu, bukan dengan cara menumpahkan seluruh isi kotak mainan.
Kalo pun mainan yang dicari ternyata ada di bagian bawah, biarlah mereka ngeluarin yang di atas satu per satu sampai ketemu yang dicari. Anggap saja itu untuk melatih kesabaran dan tidak mudah putus asa.
"Aneh ya?"
"Kan hasilnya sama aja?"
"Sama-sama harus diberesin?"
"Beda..!"

Kalo diambil satu-satu, mberesinnya lebih mudah dan cepat, karena biasanya juga ngga semua mainan dipake.
"Ahh, ngga masalah. Wong yang mberesin ART ini".
"Emang situ enggak punya ART"

Okelah kalo begitu..Di rumah semua oke karena ada ART yang handle semua bentuk kreativitas anak.
Tapi pernah terpikir enggak kalo itu akan jadi kebiasaan?
Dan itu bisa terjadi di mana saja.
Rumah tetangga, misalnya..
Anak kita maen ke tetangga sebelah. Ambil kotak mainan temannya, ditumpahin seluruh isinya. Kita ngga tahu kan perjuangan si empunya rumah gimana. Siapa tahu dia ngga punya art. Siapa tau dia baru aja selese beres-beres rumah yang kaya kapal pecah, lalu anak kita masuk. Bermain dengan anaknya, dan numpahin semua mainan yang ada kotak mainan.

Gimana perasaan yang empunya rumah?
Saya pernah mengalaminya. Ada anak tetangga ke rumah, numpahin satu keranjang mainan.
Ok, baiklah..Ini tamu. Saya masukin lagi semua mainan, anak-anak yang waktu itu masih balita saya biarkan bermain dengan anak tetangga. Dan kemudian si anak tetangga ini menghampiri keranjang mainan yang sudah terisi lagi. Dia bahkan ngga nyari mainan yang dia suka. Tangannya langsung ngangkat keranjang, numpahin semua isinya. Dan itu terjadi 3x dalam satu kali kunjungan itu.
"Terus aku kudu piye?"

Pernah melihat sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah besar, usia SMP ke atas, si ibu sibuk dengan semua kerjaan rumah, mulai dari nyapu, ngepel, nyuci, nyetrika, masak dll, sementara si anak hanya nonton tivi.
Tidak ada kalimat minta bantuan dari si ibu kepada anak-anaknya. Tak bijak rasanya kalo menurut saya.
Mungkin saat ini si ibu tenaganya masih cukup untuk meng-handle semua urusan domestik itu.

Tapi berapa tahun ke depan? Usia jelas bertambah dan itu tidak berbanding lurus dengan energi yang dimiliki oleh si ibu.
Dan yang lebih penting, dimana letak empati si anak?
Sepertinya anak-anak ini memang tidak pernah diberi tugas ketika masih kecil. Bisa jadi sudah pernah mencoba memberi tugas, tapi anak-anak tidak serta merta langsung melakukan itu kan? Sehingga diambillah jalan pintas itu. Biarlah si ibu yang menangani semuanya, itu jauh lebih cepat, daripada harus ngomel-ngomel panjang dan si anak tetap tidak melakukan. Berhasil! Untuk jangka pendek. Tapi untuk jangka panjang..bisa jadi ada efek negatif tentang menurunnya tingkat empati si anak.

Seorang guru pernah bercerita, seorang anak kelas 3 SD terdiam lama di kamar mandi di sebuah kegiatan perkemahan. Dia tidak tahu caranya mandi karena selama ini selalu ada mbak yang mandiin. Kelas 3 SD...! Nyaris tidak percaya saya mendengarnya. Jujur saja, mandiin anak-anak yang jumlahnya tiga itu, memang jauh lebih cepet, lebih bersih, dan lebih menghemat tenaga, daripada membiarkan mereka mandi sendiri. Tapi dengan mandi sendiri itu akan melatih kemandirian anak, saya juga bisa mengajarkan ke anak-anak bahwa kamar mandi itu tempat kotor, jadi sebaiknya ke kamar mandi seperlunya saja, tidak berlama-lama.

Ketika saya mempunyai harapan agar anak-anak kelak menjadi anak yang sholih sholihah, saya harus menanamkan nilai-nilai itu sedini mungkin. Sholat meskipun belum wajib, tetap harus dilakukan. Meskipun gerakan dan bacaannya belum sempurna benar, tapi target melakukan sholat 5x dalam sehari itu harus dimulai sedini mungkin. Kalo anaknya masih asyik nonton, asyik maen sementara sudah masuk waktu sholat, saya yang harus mengingatkan.

Kalimat pertama dengan intonasi lembut. Sepuluh menit ngga beranjak dari depan TV, kalimat peringatan kedua dengan intonasi agak naik. Kalimat ketiga, keempat, kelima dst. Bahkan bisa jadi dari awal masuk waktu sholat sampai hampir berakhir waktu sholat, itu bocah masih belum juga beranjak.

Disinilah omelan panjang lebar itu bekerja..
Capek..!
Bosen..!
Ngingetin anak-anak buat sholat padahal mereka ngga berdosa juga kalo ngga sholat. Tapi, itu harus saya lakukan. Demi harapan saya punya anak sholih dan sholihah bisa terwujud. Karena kalo menunggu usia baligh baru menyuruh mereka sholat, akan jauh lebih susah.
Tapi ngomel-ngomel itu juga ada hasilnya..

Untuk satu kebiasaan baik, bisa jadi butuh sebulan dua bulan, kadang juga lebih dari itu, ngomel hampir setiap hari.
Dan ketika kebiasaan itu sudah tertanam dengan baik, kita tinggal menikmati hasilnya.

Kalo kadang lupa, cukup ngingetin dengan kalimat pendek..Ngga sampe ngomel..
Ada handuk basah di kasur, tinggal bilang, "handuuukk...!"

Si pemilik handuk udah langsung menuju kamar
ngambil handuk dan naruh di jemuran handuk.
Beres-beres mainan, tinggal bilang, beres-beres 10 menit. Kalo masih asyik ngobrol, tinggal bilang, 5 menit lagi. Kalo sudah habis waktunya dan masih belum beres juga mainan-mainan itu, tinggal ambil sapu dan para pemilik mainan akan bergegas menyelamatkan harta bendanya.

Saya sih tidak menyarankan para ibu untuk ngomel-ngomel setiap saat..
Kalo bisa pakelah bahasa yang lembut ke anak-anak kita.
"Kalo bisa...!"
"Kalo ngga bisa?"
"Yaa.. Ngomel-ngomel selama tidak melebihi batas boleh lah.."
 Xixixixi...

No comments: