Skenario Calon Tunggal Jokowi
Saya cukup sadar, kenapa kartu kuning yang disampaikan mahasiswa UI yang kemudian viral di sosial media ditanggapi berlebihan oleh Istana. Dari Menteri keuangan sampai Presiden menanggapinya dengan suasana kebatinan yang tidak santai. Jokowi saat ini memang dalam kondisi kritis jika berbicara elektoral, mengingat pilihan presiden tinggal 1 tahun lagi. Jokowi sedang berusaha keras agar elektoral aman di atas 50%.
Dari semua survey, elektabilitas Jokowi hampir semua di bawah 50%. SMRC merilis dengan pertanyaan terbuka elektabilitas Jokowi hanya 38,9%, Polmark 41%, Indo Barometer 44%, Indikator 47%, Median 36,2%. Sebagai Incumbent, hasil elektabiltias ini tidaklah aman. Meskipun Jokowi memiliki elektabilitas paling tinggi di banding dengan kandidat lain, namun dengan elektabilitas jokowi kurang dari 50%, itu bisa diartikan lebih dari 50% publik juga tidak ingin Jokowi kembali menjadi Presiden, atau kata sederhananya, Publik ingin Presiden Alternatif.
Mempersempit calon dengan Presidential Threshold
Jika gagal melakukan konsolidasi publik yang tercermin melalui elektoral, maka langkah paling instan adalah melakukan konsolidasi elit, konsolidasi parpol. Semua dilakukan untuk menghambat munculnya nama baru. Yang sudah dilakukan adalah keputusan adanya presidential threshold yang mengacu kepada pemilu 2014. Filosofi Presidential Threshold digunakan, agar Pemerintah stabil karena ada dukungan mayoritas dari Parlemen, tapi aneh jika menggunakan pemilu 2014, karena pemilu 2019 bisa saja terjadi perubahan suara partai. Namun namanya konsolidasi elit, apasaja bisa dibuat.
Dengan adanya PT yang mengacu pemilu 2014, semua partai kecil gigit jari. Bagaimana tidak, dua partai besar berhasil terkonsolidasi, Golkar dan PDIP tentu saja. Dengan daya tawar yang tinggi dengan kekuasaan sebagai eksekutif, Jokowi juga berhasil melakukan pengkondisan partai-partai kecil, sebut saja Nasdem, PPP, Hanura, dan PAN juga telah menyatakan sebagai partai pemerintah bahkan telah mengkampanyekan Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kalinya.
Dengan demikian bisa diartikan, Jokowi telah “membeli” kursi Presiden sebelum pemilu dimulai.
Skenario Calon Tunggal
Di banyak media sosial masih ada kalangan yang menginginkan Prabowo kembali bertarung melawan Jokowi. Namun saya dengan berat hati mengatakan Prabowo tidak lagi relevan. Dibanyak survey, apabila Prabowo dihadapkan dengan Jokowi, Prabowo selalu keok dan terus melebar jarak elektoralnya. Ditambah lagi tidak ada narasi dan ide baru dari Prabowo.
Bahkan saya dikagetkan dengan wacana Jokowi akan berpasangan dengan Prabowo di Pilpres besok. Yah, itu tidak mustahil, berdasarkan survey SMRC, 69% hampir 70% publik setuju Jokowi dan Prabowo berpasangan. Kabarnya, Jokowi juga telah melobi Prabowo untuk menjadi wakilnya meskipun ini baru sebatas gosip, tapi konstelasi ini bukan mustahil.
Jika semua kekuatan telah terkonsolidasi, maka Skenario Calon Tunggal akan benar terjadi. Kalaupun ada calon lain, itu menjadi penghias kartu suara yang tanpa makna.
Terus Mendorong Calon Alternatif
Ditengah kekuatan besar yang menakutkan bagi partai-partai kecil, butuh keberanian untuk terus maju. Coba lihat saat ini, banyak tokoh dari partai-partai yang muncul di Billboard, sebut saya Muhaimin Iskandar, berani muncul tapi setengah-setengah. Berani muncul, tapi sayang, ia hanya berani menyebutnya sebagai Calon Wakil Presiden. Tidak ada tokoh alternatif yang berani benar-benar menantang Jokowi.
Untuk itu saya kagum dengan PKS, yang lain hanya berani wapres, namun PKS memberikan 9 tokoh alternatifnya sebagai Capres. Tidak tanggung-tanggung, tidak satu dua nama, tapi sembilan nama. Ditambah lagi keberanian Anis Matta sebagai salah satu diantara sembilan capres PKS, untuk muncul di publik dan mendeklarasikan diri. Yang pasti keberanian ini, akan memberikan efek kejut untuk istana, PKS sekarang punya Capres.
9 Capres ini harus segera keluar kandang karena waktu hanya 6 bulan sebelum pencalonan Presiden. 9 Capres jangan lagi berfikir kedalam, ia harus tampil di publik agar ada dampak elektoral, baik elektoral capres maupun elektoral partai. 9 Capres ini harus diberikan tugas untuk melakukan kapitasisasi suara, sosialisasi seluas mungkin. Diberikan kebebasan membuat kreatifias, karena kekuatan figur akan berdampak kepada kekuatan suara partai, sudah banyak dibuktikan diberbagai penelitian, bahwa figur partai akan mendongkrak suara partai. Biarkan 9 capres ini keluar dan muncul di berbagai sendi publik, jangan dihambat, jangan banyak aturan, jangan banyak dibatasi. PKS harus berani mengibarkan bendera perang, seperti kata Wasekjen Mardani Ali Sera “Kami akan mengganti pemerintahan yang sekarang”
Sekian
Arief Eka Atmaja
Aktifis Media Sosial
No comments:
Post a Comment