Sunday, January 28, 2018

Pilkada Jabar



3 VS 1, Pilkada Jabar
*Oleh: Goben Gusmiyadi
Aktivis Indonesia Bergerak
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Secara ideologis, Pilkada Jabar sesungguhnya hanya menyuguhkan dua kontestan saja. Pasangan Asyik(Ajat Syaikhu) dan tiga kandidat lainnya. Tak perlu marah,bingung atau uring-uringan, dengan mudah fakta itu kita temukan dengan cara menelusuri urat dukungan politik antar kandidat.

Dalam konstelasi politik yang lebih besar, Asyik didukung oleh kekuatan partai oposisi. Sedangkan pasangan lainnya, mereka memiliki irisan besar persekutuan dengan partai pendukung pemerintah. Bahkan salah satu diantaranya adalah kader militan dari partai pemerintah (PDIP) yakni TB Hasanuddin yang berpasangan dengan Anton Charlyan.

Pasangan Dedi Mizwar - Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil (RK) - Uu, TB Hasanuddin - Anton Charlyan merupakat paket calon kepala daerah yang garis partainya adalah pendukung pemerintah. Kalaupun ada yang abu-abu adalah partai Demokrat. Partai ini belakangan hari kerap seiring sejalan dengan kebijakan Jokowi. Fakta yang mudah ditemukan adalah dukungan Demokrat atas pengesahan UU Ormas yang tahun lalu telah disahkan.


Di kubu pasangan Asyik, yang unik malah disandang oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Meskipun mengutus menteri untuk Jokowi, tapi PAN kerap sekali mengkritisi kebijakan pemerintahan. Sikap politik PAN tampak berseberangan dengan pemerintah saat pengesahan UU Ormas. Padahal UU tersebut merupakan pertarungan marwah pemerintahan Jokowi.

Identifikasi kita terhadap blok oposisi atau pendukung pemerintah ini menjadi penting. Ini yang kemudian saya sebut sebagai representasi ideologi antar partai. Yakni cara pandang dan sikap partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan. Meskipun beberapa partai menggunakan lebel agama, tapi sesungguhnya yang terpenting adalah praktek kongkrit dalam penerapan kebijakan politik saat ini.

Dari awal pemerintahan Jokowi, sebagaimana yang kita ketahui telah memilih jalan membuka kran liberalisasi yang sangat besar. Dominasi asing nyaris tak terbendung. Paket-paket kebijakan ekonominya memberikan banyak sekali kemudahan bagi asing untuk menguasai sektor-sektor ekonomi yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Lihat saja di Jakarta, pemerintahan Jokowi dengan sangat gagah pasang badan bagi pembangunan  pulau reklamasi. Kasus di Jabar, dengan mudah kita dapat menemukan jejak kepentingan blok pemerintahan ini melalui mega proyek Meikarta dan kereta api cepat yang menabrak berbagai aturan dan perundang-undangan.

Dengan demikian, siapapun dari tiga calon Gubernur Jabar yang memenangkan pertarungan diluar dari pasangan Asyik, dapat dipastikan ia akan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintahan Jokowi. Watak pembangunan di Jabar akan bersifat liberal. Ia  akan menjadi fasilitator dan bagian dari masuknya kepentingan modal negeri tirai bambu yang kini terasa sangat dominan dari hari kehari di republik ini.

Fakta ini tak dapat ditolak. Ridwan Kamil misalnya, ia menerima dukungan Nasdem dengan melakukan kontrak politik yang poin pentingnya adalah dukungan dua periode untuk Jokowi. Partai pendukung lainnya sama saja.

Setali tiga uang dengan RK, Dedi Mizwar akhirnya berlabuh dengan Demokrat dan Golkar. Demokrat dalam banyak pandangan pengamat saat ini sedang berupaya cari cela menempatkan AHY menjadi wakil Jokowi. Sedangkan Golkar warnanya lebih jelas. Partai ini dikunci sejak perpecahan beberapa tahun yang lalu. Malah sebagian banyak orang menyebut partai ini sengaja dipecah agar koalisi merah putih bubar ditengah jalan. Demiz sendiri, terakhir ia tampak menjadi lunak dengan proyek Meikarta. Demiz dianggap masuk angin oleh banyak kalangan.

Hanya pasangan Asyik yang berbeda. Secara nasional Gerindra dan PKS sedari awal memiliki garis tegas sebagai pembeda. Partai-partai ini menarik garis demarkasi yang tegas terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi - JK.

Selain kebijakan ekonomi, yang paling mudah diingat adalah momentum pengesahan UU Ormas. Ini bukan semata pertarungan pengesahan UU, tapi dibalik itu  ada rangkaian peristiwa politik besar,  yakni gelombang aksi massa mengatasnamakan aksi bela Islam yang secara politik dianggap berlawanan dengan kehendak kebijakan pemerintah dalam kasus Ahok. Peristiwa kala itu juga diikuti dengan penangkapan aktivis-aktivis islam yang dikenal dengan istilah kriminalisasi ulama.

Demikianlah..... Kontestan pada Pilkada Jabar sesungguhnya bukan empat pasang, melainkan dua saja. Memilihnya menjadi lebih mudah; Pasangan Asyik yang didukung oleh Prabowo yang nasionalis, atau blok Jokowi sebagai representasi blok liberal di Indonesia.

No comments: