Oleh : Ustadz Rohmat S.Labib
Pertanyaan penting pertama yang perlu diajukan adalah: Apa sesungguhnya yang mendorong pemerintah untuk menarik zakat PNS?
Apakah karena didasarkan oleh dorongan keimanan, bahwa zakat adalah sebuah kewajiban atas kaum Muslimin; dan pemerintah berkewajiban untuk menariknya secara langsung agar kewajiban tersebut tidak terabaikan?
Ataukah, sebenarnya pemerintah hanya ingin menarik dana dari rakyat, lalu mencari cara agar keinginan tersebut bisa terlaksana. Lalu, ketemulah adanya kewajiban zakat bagi kaum Muslimi. Dengan demikian, zakat sesungguhnya hanyalah dalih atau kedok untuk menutupi motif sebenarnya, yakni: memalak dana dari masyarakat
Untuk mendapatkan jawabannya, kita bisa mengujinya dengan beberapa pertanyaan:
Misalnya, Jika tujuannya benar-benar ikhlas dan sebagai ketundukan terhadap Allah Swt, maka semestinya pemerintah akan benar-benar memperhatikan ketentuan syariah tentang zakat. Dalam soal zakat emas, perak, atau uang, ada ketentuan nishab (batas munimal, yakni senilai 20 dinar emas atau dirham perak, atau uang senilai angka tersebut) dan haul (setelah berlangsung selama setahun). Bukan setiap uang seseorang yang diterima langsung bisa diambil dengen mengabaikan ketentuan keduanya.
Demikian juga penggunaannya. Syara' telah menetapkan bahwa zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan. Tidak boleh untuk yang lain, termasuk untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Dari penjelasan Menag , tampak jelas bahwa penggunaan zakat tidak terbatas untuk delapan golongan tersebut. Bahkan rencana penarikan dana 2,5 peseren dari gaji PNS itu untuk menutupi APBN dan APBD yang masih kurang.
Jika demikian , bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa penarikan zakat itu didorong atas dasar keimanan dan ketundukan untuk menjalankan syariah, sedangkan penarikan zakat itu sendiri menabrak ketentuan hukum syara'? Demikian pula penggunaannya...
Motivasi sesunguhnya pemerintah semakin jelas ketika diajukan: Mengapa hanya zakat? Mengapa dalam hukum lainnya abai? Jika pemerintah benar-benar menginginkan rakyatnya menjalankan syariah, mengapa negara tidak mempedulikan pelaksanaan ibadah lainnya pada rakyatnya, misalnya dalam ibadah shalat, puasa, menutup aurat, dan lain-lain?
Juga, mengapa hukum syara' lainnya yang diwajibkan dijalankan oleh pemerintah, pemerintah justru abai?
Dalam soal tambang yang depositnya melimpah, seperti tambang emas di Papau, tambang minyak, gas, batubara, dan lain-lain, menurut ketentuan syara' adalah milik umum. Negara diberikan wewenang untuk mengelolanya. Negara tidak boleh menjual atau menyerahkannya kepada korporasi swasta, apalagi korporasi swasta negara penjajah seperti perusahaan Freeport. Jika dorongannya ketundukan hukum syara, mengapa semua kepemilikan umum itu dibiarkan saja oleh pemerintah dikuasai oleh korporasi swasta?
Demikian pula, berbagai sanksi hukum yang wajib ditegakkan, seperti hukuman bagi pezina, pelaku liwath, peminum khmar, orang murtad, dan lain-lain. Mengapa semua hukum syara tentang itu justru diabaikan, padahal semua hukum itu wajib ditegakkan tanpa ada ikhtilaf? Sebaliknya, semua kemungkaran itu justru dibiarkan dan tidak ada sanksi syar'i bagi pelakunya?
Lebih dari itu, mengapa perjuangan menegakkan syariah secara kaffah malah dihalang-halangi dan dimusuhi? Pejuang dan ormasnya disebut radikal dan dibubarkan secara semena-mena?
Saya hanya mengingatkan kepada siapa saja, janganlah memperlakukan seenaknya berdasarkan hawa nafsunya. Diambil apa yang disukai dan ditinggalkan apa yang apa yang dibenci.
Takutlah dengan firman ALlah Swt:
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ
مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (QS. Al-Baqarah [2]: 85).
No comments:
Post a Comment