3 HAL YANG WAJIB DIHINDARI DALAM PERTENGKARAN RUMAH TANGGA
Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma
ba’du,
Pertengkaran dalam rumah tangga, salah satu diantara
pertanyaan yang banyak masuk melalui situs KonsultasiSyariah.com.
Semoga artikel ini
bisa menambah wawasan untuk menuju yang lebih baik.
Pertengkaran dalam rumah tangga , hampir pernah terjadi
dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik
sekalipun.
Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu
‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah
Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan
beliau bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus
dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid,
sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid,
dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya,
dan dia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
debu itu, sambil mengatakan,
ﻗُﻢْ ﺃَﺑَﺎ ﺗُﺮَﺍﺏٍ، ﻗُﻢْ ﺃَﺑَﺎ ﺗُﺮَﺍﺏٍ
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun,
wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)
Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan
dengan keluarga Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian,
pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga
terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga
yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang
tidak baik.
Apa Bedanya?
Keluarga yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan.
Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada
upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat
hakku.
Tak jarang
pertengkaran semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.
Berbeda dengan keluarga yang baik, sekalipun mereka
bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan.
Sekalipun mereka
saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya.
Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya
sifat semacam ini ada pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat
dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Semua Jadi Pahala
Apapun kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita pahami
bahwa itu sejatinya bagian dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu
kesempatan untuk mendulang pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﺎ ﻳُﺼِﻴﺐُ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻢَ، ﻣِﻦْ ﻧَﺼَﺐٍ ﻭَﻻَ
ﻭَﺻَﺐٍ، ﻭَﻻَ ﻫَﻢٍّ ﻭَﻻَ ﺣُﺰْﻥٍ ﻭَﻻَ ﺃَﺫًﻯ ﻭَﻻَ ﻏَﻢٍّ، ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻟﺸَّﻮْﻛَﺔِ ﻳُﺸَﺎﻛُﻬَﺎ،
ﺇِﻟَّﺎ ﻛَﻔَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa
setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain,
resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah
jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).
Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang
pernah kita lakukan.
Kemudian Allah
memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu, hadirkan
perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda
alami, lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
ﻣَﺎ ﻧَﺰَﻝَ ﺑَﻠَﺎﺀٌ ﺇﻟَّﺎ ﺑِﺬَﻧْﺐِ ﻭَﻟَﺎ
ﺭُﻓِﻊَ ﺇﻟَّﺎ ﺑِﺘَﻮْﺑَﺔِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan
musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)
3 Hal Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga
Selanjutnya, ada 3 hal yang wajib dihindari ketika terjadi
pertengakaran. Semoga dengan menghindari hal ini, pertengkaran dalam keluarga
muslim tidak berujung pada masalah yang lebih parah.
Secara umum, aturan ini telah disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari
ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﺃَﻥْ ﺗُﻄْﻌِﻤَﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻃَﻌِﻤْﺖَ، ﻭَﺗَﻜْﺴُﻮَﻫَﺎ
ﺇِﺫَﺍ ﺍﻛْﺘَﺴَﻴْﺖَ، ﺃَﻭِ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒْﺖَ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻀْﺮِﺏِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪَ، ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻘَﺒِّﺢْ،
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻬْﺠُﺮْ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖ
“Kamu harus memberi makan kepadanya
sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu
memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan
kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan
dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada para suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang
disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita.
Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:
Pertama, hindari KDRT
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul
istrinya ketika sang istri membangkang.
Sebagaimana firman
Allah di surat An-Nisa:
ﻭَﺍﻟﻠَّﺎﺗِﻲ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮﻥَ ﻧُﺸُﻮﺯَﻫُﻦَّ ﻓَﻌِﻈُﻮﻫُﻦَّ
ﻭَﺍﻫْﺠُﺮُﻭﻫُﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻀَﺎﺟِﻊِ ﻭَﺍﺿْﺮِﺑُﻮﻫُﻦَّ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﻃَﻌْﻨَﻜُﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺒْﻐُﻮﺍ
ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﺳَﺒِﻴﻠًﺎ
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk,
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)
Namun ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas
melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,
1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau,
“jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala
manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi
pusat indera manusia.
2. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.
ﺇِﻥْ ﻓَﻌَﻠْﻦَ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮﻫُﻦَّ ﺿَﺮْﺑًﺎ
ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﺒَﺮِّﺡٍ
“Jika istri kalian melakukan
pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR.
Muslim 1218)
Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya,
ketika beliau menjelaskan firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.
Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﻣﺎ ﺍﻟﻀﺮﺏ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺒﺮﺡ ؟ ﻗﺎﻝ
: ﺍﻟﺴﻮﺍﻙ ﻭﺷﺒﻬﻪ ﻳﻀﺮﺑﻬﺎ ﺑﻪ
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan
yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat
gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).
Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan
yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan
mengeluarkan darah.
Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk
menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul
tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang
bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, ketika ada orang yang sangat kuat,
mendapatkan lawan yang lemah.
Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia untuk meladeninya.
Karena itu, lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu
menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang
sejatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺪِﻳﺪُ ﺑِﺎﻟﺼُّﺮَﻋَﺔِ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ
ﺍﻟﺸَّﺪِﻳﺪُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﻤْﻠِﻚُ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻐَﻀَﺐِ
“Orang yang hebat bukahlah orang
yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa
menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).
Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
A’isyah menceritakan,
ﻣَﺎ ﺿَﺮَﺏَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻗَﻂُّ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻭَﻟَﺎ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً، ﻭَﻟَﺎ ﺧَﺎﺩِﻣًﺎ، ﺇِﻟَّﺎ
ﺃَﻥْ ﻳُﺠَﺎﻫِﺪَ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau
berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).
Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan
Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan
pemberani di hadapan orang lemah. Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah
di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua, Hindari Caci-maki
Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki.
Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu
ketika seseorang didzalimi.
Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas
kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian.
Allah berfirman,
ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﺠَﻬْﺮَ ﺑِﺎﻟﺴُّﻮﺀِ
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻝِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﻇُﻠِﻢَ
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang
diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)
Setidaknya, ketika dia tidak mampu memberi balasan secara
fisik, dia mampu membalas dengan melukai hati orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin
untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan
dalam bentuk caci maki harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan
menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat
sulit untuk bisa mengobatinya.
Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga
yang sakinah.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa
nama keluarga atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.
Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan. :
ﻟَﺎ ﺗَﻘُﻞْ ﻟَﻬَﺎ ﻗَﻮْﻟًﺎ ﻗَﺒِﻴﺤًﺎ ﻭَﻟَﺎ
ﺗَﺸْﺘُﻤْﻬَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻗَﺒَّﺤَﻚِ ﺍﻟﻠَّﻪُ
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang
menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..”
(Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).
Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan
yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah
yang dikecam dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman,
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ
ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُﺒِﻴﻨًﺎ
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)
Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan
pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak
bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang nyata.
Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga
Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu
disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai
rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak,
akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehatkan,
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻬْﺠُﺮْ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖ
“jangan kamu boikot istrimu kecuali
di rumah”
Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena
masalah tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui
banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di
luar, harus menampakkan seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan
kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.
Siapakah pihak yang berwenang?
Pihak yang posisinya bisa mengendalikan dan memberi solusi
atas masalah keluarga. Dalam hal ini bisa KUA, hakim, ustadz yang amanah, atau
mertua.
Kami sebut mertua,
karena dia berwenang untuk mengendalikan putra-putrinya. Dan ini tidak berlaku
sebaliknya.
Agar tidak salah paham, berikut keterangan lebih rinci;
Ketika suami melakukan kesalahan, tidak selayaknya sang
istri melaporkan kesalahan suami ini kepada orang tua istri. Tapi hendaknya
dilaporkan kepada orang yang mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama
yang disegani suami atau orang tua suami.
Demikian pula ketika
sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya kepada orang
tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).
Solusi ini baru diambil ketika masalah itu tidak
memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.
Hindari Pemicu Adu Domba
Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri
memiliki masalah dengan suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua
istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya.
Namun tidak sampai di
sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi bermusuhan. Orang tua istri
merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya didzalimi anak orang lain,
sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur urusan keluarganya.
Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru yang justru lebih parah
dibandingkan sebelumnya.
Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka
dengan pasangannya, karena ini akan memperkecil timbulnya dugaan buruk
(suudzan) antar-sesama.
Semoga bermanfaat..,
No comments:
Post a Comment