Tuesday, January 9, 2018

HIKMAH DAKWAH DAN SIYASIYAH

Hasil gambar untuk Dakwah
Hikmah Dakwah dan Siyasiyah

Sejarah perkembangan dakwah di bumi Nusantara ini sarat akan hikmah (pelajaran) yg tentunya dapat kita ambil untuk keberlangsungan dakwah Islam membangun kembali peradabannya. Dan kondisi umat Islam terkini saat ini, menjadikan saya (penulis, red) menerawang cukup jauh ke awal abad 19.

Pada tahun 1803, pulanglah tiga orang jamaah haji asal Minangkabau, Sumatera Barat dari perjalanan ibadah menyempurnakan rukun Islam yg kelima. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Dulu, perjalanan menunaikan ibadah haji tidaklah sesingkat sekarang. Selain penggunaan alat transportasi, juga adalah tentang dimanfaatkannya masa keberadaan jaah haji dari seluruh penjuru dunia untuk konsolidasi dakwah serta melaksanakan tarbiyah Islamiyah, mendalami berbagai ilmu agama dan penerapannya di masyarakat. Tentunya, dengan demikian lamanya jamaah haji di tanah suci Makkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah, ada sedikit banyak pengaruh yg meningkatkan ghirah untuk melaksanakan Islam secara kaffah. Demikian juga terjadi pada tiga orang alumni 'Madrasah Hujjaj' ini. Pulang ke Nusantara, mereka membawa ghirah untuk berdakwah yg begitu besar.


Tiba kembali di tanah air, mereka melihat kondisi yg kontras. Kondisi masyarakat di lingkungan mereka tidak se-ideal yg seharusnya. Kemaksiatan merajalela. Minuman keras, perjudian, madat, dan lainnya. Ditambah, longgarnya pelaksanaan syari'at seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, hingga kepada masalah pembagian waris yg tidak bersumber pada syari'at Islam. Masyarakat Kerajaan Pagaruyung menjadikan adat sebagai patokan sumber kebenarannya.

Ketiga orang ini tentunya risau. Kemudian mereka mulai melakukan upaya perubahan tatanan sosial masyarakat Pagaruyung. Mereka kemudian bergabung dengan para da'i yg sebelumnya telah aktif berdakwah yg halaqahnya diberi nama Harimau Nan Salapan (Delapan Harimau), mereka adalah:
1. Abdullah alias Tuanku Nan Receh
2. Tuanku Pasaman
3. Tuanku Rao
4. Muhammad Shalih alias Tuanku Tambusai
5. Tuanku Lintau
6. Tuanku Mansiangan
7. Tuanku Pandai Sikek
8. Tuanku Barumun

11 orang ini kemudian aktif melakukan pengajian dan pengkajian serta aktif terjun langsung melakukam Amr ma'ruf dan Nahyi Munkar di masyarakat.

Sebagian sumber, termasuk Wikipedia menuliskan bahwa 'halaqah' Harimau Nan Salapan ini berpaham Wahabi (sebutan bagi paham yg digagas oleh Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab di Najd, Kesultanan Dir'iyah Arabiyah). Namun, hal ini terbantahkan dengan fakta sejarah bahwa pada awal tahun 1800-an, termasuk pada tahun di mana 'tiga serangkai' alumni haji ini melaksanakan ibadah hajinya dan pulang ke tanah air, pengaruh paham Wahabi belum masuk ke Makkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah. Makkah dan Madinah berada dalam kekuasaan Kekhilafahan Turki Utsmaniyah yg justru membangun madrasah-madrasah 'lintas madzhab' di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Tahun 1802 Kesultanan Dir'iyah masih sibuk melakukan ekspansi ke Karbala. Dan baru melakukan ekspansi merebut Hijjaz (Makkah dan Madinah) pada tahun 1804. Satu tahun setelah pulangnya 'tiga serangkai' tersebut.

Selain fakta sejarah, pengaruh Wahabi juga tidak tampak pada kebiasaan berpakaian. Para penganut paham Wahabi, karena berasal dari Najd (sekarang Riyadh) tidak mengenakan Imamah (sorban yg dililitkan di atas kepala). Melainkan mengenakan Syimagh (sorban yg digeraikan di atas kepala). Hal ini karena, menurut pengikut Wahabi, mengenakan Syimagh adalah sebagai bentuk pembeda antara masyarakat Khilafah Utsmaniyah dengan masyarakat Kesultanan Dir'iyah. Bahkan ada pendapat pula yg menyebutkan bahwa penggunaan Syimagh adalah bentuk Hajr Mubtadi' (pengisolasian pelaku bid'ah).

Sementara, halaqah Harimau Nan Salapan ini, yg kemudian dikenal dengan Kaum Padri, para tokohnya mengenakan Imamah. Termasuk nantinya adalah salah satu muridnya yg kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol.

Walaupun tidak ditemukan korelasi antara kaum Padri dengan Wahabi, namun metode dakwahnya terpengaruh dengan metode komunikasi dakwah (baca: gaya komusikasi) para ulama di kawasan Hijjaz kepada masyarakat Arab. Yakni, 'straight to the point'. Langsung tidak perlahan.

Bahwa memberantas kemaksiatan, khurafat, syirik dan lainnya bukan hanya milik Wahabi saja. Melainkan memang risalah Islam yg sebenarnya. Sehingga penyebutan aksi dakwah kaum Padri dengan gerakan Wahabi tentunya tidaklah tepat.

Gaya komunikasi dakwah inilah yg kemudian menjadi pemicu masalah internal sosial di Pagaruyung. Masyarakat kaget. Lalu kemudian terjadi penolakan yg berujung kepada saling membenci dengan kadar yg tidak proporsional. Akhir tahun 1803, akhirnya pecahlah perang saudara antara kaum Adat yg kaget dengan cara dakwah dengan kaum Padri yg cukup 'keras' dalam berdakwah. Perang saudara ini kemudian disebut oleh para orientalis sebagai Perang Padri, dengan tujuan menyudutkan kaum Padri sebagai pemicu perang saudara tersebut.

Perang Padri pun terjadi dalam 4 tahap:
1. Tahun 1803-1821: perang (baca: pertikaian) internal kaum adat dan kaum Padri.
2. Tahun 1821-1824: perang antara koalisi kaum Adat dan Belanda melawan kaum Padri
3. Tahun 1825-1830: gencatan senjata
4. Tahun 1830-1833: perang antara koalisi kaum adat dengan kaum Padri melawan Belanda.

Mari perhatikam perubahan konstelasi politik dan peperangan dalam perang Padri tersebut di atas.

Pada periode pertama (1803-1821), selama 18 tahun internal umat Islam terjadi perpecahan sedemikian rupa. Dakwah yg mestinya indah dan mempersatukan malah menjadi hal yg tabu dan mengerikan. Kondisi berpecahnya umat Islam ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum kafir penjajah Belanda. Ia menyusup dengan menawarkan bantuan demi tercapainya tujuan mereka: Gold, Glory dan Gospel (kekayaan, kekuasaan dan penginjilan).

Tahun 1821-1824 Belanda berhasil menembus kaum Adat dan berkoalisi dengannya melawan kaum Padri. Belanda mengajukan syarat untuk boleh menduduki kawasan Sumatera sebagai timbal balik bantuannya. Akhirnya disepakati dalam perjanjian Treatry of Sumatera. Bahwa Belanda boleh menduduki Sumatera bagian tengah dan timur.

Tahun 1825-1830 Belanda kewalahan. Karena pada saat yg sama, di pulau Jawa terjadi Perang Diponegoro. Pasukan Belanda di Sumateta diperbantukan ke Jawa. Akhirnya, selama 5 tahun terjadi gencatan senjata pada perang Padri.

Pada masa gencatan senjata ini, kaum Padri kemudian mengevaluasi ulang metode dakwahnya. Bahwa metode dakwah dengan copy paste metode di jazirah Arabia tidaklah cocok dengan kultur sosial di Nusantara bahkan bukan saja terjadi penolakan, melainkan terjadi perang saudara sesama anak bangsa. Wabil khusus sesama umat Islam. Yg hasilnya malah merugikan umat Islam sendiri begitu saja yakni Belanda akhirnya bisa menguasai wilayaj Sumatera.

Pelanjut estafeta dakwah dari 'halaqah' Harimau Nan Salapan yg selanjutnya dikenal dengan kaum Padri ini, Tuanku Imam Bonjol, kemudian merubah cara dakwahnya menjadi lebih soft. Dan Qadarullah, dengan metode yg lebih soft ini, dakwah kemudian lebih diterima oleh masyatakat luas. Termasuk pada jajaran eksekutif di Kerajaan Pagaruyung. Tuanku Imam Bonjol kemudian berhasil menduduki jabatan eksekutif di Pagaruyung. Ia pun mencetuskan sebuah pakta integritas pada 15 November 1825 yg dikenal dengan Perjanjian Masang. Yg isinya adalah dikeluarkannya dekrit asas masyarakat: Asas Basandi Syarak. Syarak Basandi Kitabullah (adat berlandaskan hukum Syara' dan hukum Syara' yg berlandaskan Kitabullah/Al Quran).

Atas dasar inilah, tahun 1830-1833, kaum Adat kemudian bersatu melawan musuh yg nuata sejak dari dulu, Belanda. Tak ada lagi perpecahan, yg ada adalah persatuan. Nilai-nilai dakwah pun membumi di Minangkabau bahkan sampai pada belahan Sumatera yg lainnya.

Belanda pun kewalahan. Tahun 1833, Belanda mulai berhenti menyerang. Namun, bukan berarti Belanda hengkang. Residen Francis di Padang kemudian melakukan propaganda kriminalisasi dan penangkapan terhadap tokoh persatuan umat Islam, Tuanku Imam Bonjol. Tahun 1837, Residen Francis mengundang Tuanku Imam Bonjol, tokoh persatuan umat Islam saat itu untuk melakukan perundingan perdamaian.

Oktobet 1837, Tuanku Imam Bonjol pun datang memenuhi undangan. Ternyata, undangan perdamaian itu hanya siasat penangkapan. Tuanku Imam Bonjol pun ditangkap dan diasingkan. Beliau dibawa ke Bukit Tinggi, kemudian ke Padang. Sela jutnya, Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado selama 27 tahun hingga beliau syahid pada 8 November 1864.

Kita kembali ke masa sekarang. Dimana umat Islam bangsa Indonesia mirip kondisinya dengan era awal abad ke-19. Perpecahan internal yg disulut masalah-masalah khilafiyah (yg sebetulnya harusnya sudah 'finish') ini dimanfaatkan oleh mereka yg tidak senang dengan dakwah dan siyasiyah Islam. Ada yg dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan yg jauh dari nilai-nilai kebaikan dan universalitas Islam.

Pertanyaannya, mau sampai kapan? Mau seperti dulu dengan meletus dulu perang? Atau kita cukupkan?

Mengutip idiom berbahasa Sunda yg cukup sering disampaikan oleh Ustadz Evie Effendi: "Rek kieu wae? Teu nanaon sih. Ngan nanaonan?! Mau begini terus? Tidak apa-apa sih. Cuma apa-apaan?!"


No comments: